Minggu, 18 Desember 2011

Kajian Sufistik Syekh Siti Jenar dan Cak Nur


                Sebelum merambah pembahasan terkait diatas. Bagi kita, kiranya kedua nama diatas sudah tidak asing lagi disebut sebagai manusia penghias kontroversi, mereka setidaknya pernah membuat telinga para pengkafir panas, bagaimana tidak cerita Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat karena berseberangan dengan pandangan para Walisongo dalam menafsirkan Islam justru malah mudah mempengaruhi orang-orang disekitarnya untuk mengikuti ajarannya yang sangat nyentrik, hingga tak ayal para ulama sekelas Walisongo pun ikut terjun langsung menghadapi ulah sang maestro Sufi dari tanah jawa ini.
                Pun demikian yang terjadi pada seorang tokoh cendikiawan Muslim modern Nurkholis Madjid (Cak Nur), dilahirkan dari lingkungan santri justru tidak menyurutkannya untuk membawa nafas baru bagi dinamika intelektual keislaman. Ide-ide pembaharuannya yang dimulai tahun 70an juga malah dikecam oleh orang-orang sok “suci” yang mengatasnamakan agama hingga beliau di caci maki dan dikafirkan.
                Lalu apa sih yang membuat keduanya menjadi hujatan banyak pihak??? Menurut hemat penulis hanya orang yang kiranya belum pernah memahami secara detail saja alur ajaran atau pimikiran dari keduanya, artinya subjektifitas mereka dalam menilai seseorang sangat tidak mendasar, cobalah baca buku-bukunya agar kita tahu apa yang dimaksudkan oleh kedua tokoh ini. Pada akhirnya penulis mengutip syi’ir Gus Dur dalam sholawatnya yang berbunyi:

Akeh kang apal Qur’an Haditse …. (banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya)
Seneng ngafirke marang liyane …. (senang mengkafirkan orang lain)
Kafire dewe dak digatekke …. (kafirnya sendiri tak dihiraukan)
Yen isih kotor ati akale …. (jika masih kotor hati dan akalnya)

Baiklah, kali ini penulis masuk dalam kajian sufistik yang ditawarkan kedua tokoh ini yang mungkin tidak secara utuh atau terkupas tuntas semuanya, namun demikian penulis hanya mengambil sebagian saja dari ajaran dan pimikiran mereka mengenai sufistik, semoga tulisan ini dapat mewakili seluruhnya.
Bagi Cak Nur dalam bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban, mistik (sufi) adalah pengalaman keruhanian (mistis) pribadi seseorang untuk mengenal Tuhan lebih dalam. Pengalaman esoteris (batin atau mistis) seseorang sangat mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, karena ia berada diluar kemampuan rasio untuk menggambarkannya, jadi pada hakikatnya hanya bisa dirasakan ketika seseorang mengalaminya sendiri. Misalnya, kita tidak bisa menjelaskan rasa manisnya gula jika kita tidak pernah mencicipinya sendiri.
Sedangkan pengalaman esoteris tertinggi bagi seorang sufi biasanya dapat disebut dengan keadaan ekstase yaitu suatu keadaan yang memabukkan karena minuman kebenaran (al-haqq) yang oleh mereka khamar atau minuman keras tersebut dapat dikiaskan dengan lafadz lâ ilâha illâ Llâh. Maka, jika peristiwa ini dipaksakan, yang terjadi adalah sikap eksentris yang sangat tidak mudah dipahami kaum awam dan hanya dapat dimengerti oleh para kaum sufi sendiri. Menurut Syekh Siti Jenar kondisi ini dapat diberi istilah “awang uwung” (Ada tetapi Tidak Ada, Tidak Ada tetapi Ada) yang keberadaannya hanya mungkin disebut dalam Al-Quran “Laisa Kamitslihi Syaiun” artinya “tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu”.
Manshur al-Hallaj dan Syek Siti Jenar yang merupakan sama-sama penganut paham kesufian Wahdatul Wujud (Manunggaling Kawulo Gusti) dan juga sama-sama meninggal setelah dipancung oleh penguasa kala itu karena mengajarkan ilmu yang dianggap menyesatkan umat. Syekh Siti Jenar mengaku dirinya dengan kata “Aku adalah Allah” sedangkan Manshur Al-Hallaj melalui statementnya “Ana Al-Haqq”, mereka adalah contoh para sufi yang eksentris atau bertingkah diluar garis semestinya. Sikap eksentris bukanlah satu-satunya jalan untuk menemukan kebahagiaan abadi dan bagi kalangan orang-orang awam atau pemegang ajaran standar (syari’ah), hal demikian adalah suatu sikap yang tidak perlu dilakukan oleh seorang hamba Tuhan tanpa didampingi guru (mursyid) yang telah diakui kewenangannya.
Sejatinya kebanyakan para sufi dalam berargumen mengenai pengalaman mistik ini, mereka menggunakan teks-teks Al-Qur’an secara ta’wil yang disesuaikan dengan pengalaman mistis mereka dan menafikan atau menolak pemahaman lahiriyah teks seperti yang digunakan oleh ulama syari’ah, disinilah letaknya diantara mereka tidak mempunyai titik temu dalam pemahamannya, jadi sangat wajar jika mereka berseberangan, termasuk apa yang terjadi antara pergumulan Syekh Siti Jenar dengan para Walisongo.
Berbeda seperti Cak Nur yang memahami mistis masih sebatas teori walaupun ada kemungkinan beliau pernah mengalaminya sendiri (tidak sampai eksentrik) karena kajian tentang sufistik yang beliau tawarkan dalam buku-bukunya sangat mendalam sekali. Syekh Siti Jenar sebagai pelaku eksentris memaparkan pemahamannya tentang sufistik melalui ajaran beliau Sasahidan yang kemudian terkenal dengan Manunggaling Kawulo Gusti yang direlevansikan dengan ajaran al-Hulul, al-Ittihad, Wahdatul Wujud ataupun disebut juga panteistik, yaitu suatu bentuk ajaran yang memahami Tuhan sebagai Dzat Wajibul Wujud, karena Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan, sesuai yang disabdakan Rasul: “Tuhan menciptakan Adam dalam bentuknya”. Dari pemikiran hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa dalam diri Adam terdapat bentuk Tuhan dan dalam diri Tuhan terdapat pula bentuk Adam.
Atas dasar inilah kemudian penyatuan antara manusia dan Tuhan (Al-Ahadiyah) bisa terjadi. Tuhan dapat memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, namun ketika hal itu terjadi seorang sufi harus terlebih dahulu menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya sedang dalam dirinya yang tersisa adalah sifat-sifat ketuhanan, dan ketika hal itu terlaksana maka sejatinya Tuhanlah yang mengambil kendali (bartajalli) dari diri seorang sufi tersebut sehingga yang terjadi bagi kaum syariah adalah sikap eksentris atau bertingkah aneh dari sufi yang bersangkutan. Perilaku eksentris para sufi ini biasanya bersifat sesaat (transitory) dan tanpa disengaja tapi sangat berpengaruh terhadap pembentukan budi pekerti yang bersifat abadi. Hal inilah yang kemudian disebut Allah bahwa pengalaman mistis dapat menumbuhkan rasa bahagia tak terhingga dan menentramkan jiwa yang mendalam.
Pada kesimpulannya, tingka laku diluar garis kemanusiaan yang dilakukan Syekh Siti Jenar adalah suatu pemahaman yang tidak dapat diterima oleh akal sehat kita sebagai kaum awam yang nota bene masih berada pada tingkat pemahaman syariah, namun beliau Syekh Siti Jenar menurut hemat penulis bukanlah untuk dihujat, karena pada dasarnya kita belum pernah merasakan apa yang beliau alami ketika harus dipaksa menganggap dirinya sebagai Tuhan. Pengalaman mistis itu penting bagi pembentukan pribadi yang luhur, seperti halnya dalam sholat harus khusyu, khusyu dalam sholat itu bukan tingkatan syariah karena syariah hanya sebatas persoalan fiqhiyah belaka seperti wajib memenuhi rukun dan syarat sholat agar sah sholatnya, namun kesahan sholat belum tentu diterima, lebih dari itu khusyu dalam sholat adalah pengalaman mistis (bertasawuf) antara seseorang yang melaksanakan sholat dengan Tuhannya, dan itu harus kita upayakan agar sholat kita diterima. Disinilah yang harus kita ambil hikmahnya bahwa antara syariah dan tasawuf tidak harus berseberangan tetapi saling melengkapi satu sama lain.
Penulis: M. Qutub

DIALKTIKA REALITAS VS EGO IDEALIS; Pembacaan Jarak Jauh Jogja-Jakarta “Sondang Hutagalung”


Realitas adalah sebuah waktu dan tempat yang melingkupi makhluk yang berada dalam cengkramannya. Realitas adalah sebuah keadaan yang harus kita hadapi, realitas adalah apa adanya, itulah realitas yang selalu polos dengan penampilannya. Semua makhluk tanpa terkecuali selalu berdialektika dengan realitasnya, apapun bentuk dialektikanya baik dialektika yang saling menegasikan ataupun dialektika yang saling melengkapi dengan lingkungannya (baca: saling mendukung). Dan manusia sebagai salah satu makhluk yang berdialektika dengan realitasnya sudah sewajarnya mampu untuk mengukur realitas yang ada dihadapannya, apakah itu sesuai dengan keinginannya ataupun itu menyimpang dari keinginannya sebagi manusia.
Manusia yang diidentifikasi sebagai makhluk rasional yang mampu menggunakan akal ataupun kecerdasannya untuk mempelajari kemudian paham akan realitas terkadang dibenturkan dengan realitas tersebut, dan tentu saja yang benturan tersebut terjadi bukan hanya benturan secara fisik, tapi bias berbentuk psikis ataupun pengetahuan yang selama beberapa waktu telah didapatkannya. Sepemahaman saya, realitas tidak pernah berjalan secara linier dengan logika matematiknya dalam artian tidak selamanya jawaban realitas akan seperti jawaban matematika dasar 2+2= 4. Tetapi 4 sebagai sebuah hasil dari beberapa nilai yang ditambahkan bias berubah menjadi 5,6,8 bahkan 100 tergantung pemenang[1] yang menilainya.
Tentu kata pemenang di atas menggambarkan adanya individu atau beberapa yang mampu memangkan realitas untuk sesuai dengan keinginannya. Hal ini tidak dapat kita tolak karena memang seperti itu adanya. Dan sudah menjadi kebiasan alam untuk setiap zamannya menampilkan pemenang zamannya, akan tetapi sang pemenang akan menjadi tidak akrab dengan masyarakat atau lingkungannya apabila tidak dapat melihat kepentingan bersama yang lebih luas lagi, dan sang pemenang akan menjadi duri dalam daging ketika arah realitas di disain untuk kepentingannya sendiri dengan merusak kepentingan bersama yang menjadi idaman.
Realitas kita sekarang yang sepakat untuk berkebangsaan dan berkenagaraan Indonesia tentu akan prihatin dengan kondisi kenegaraan kita saat ini, dan tentu keprihatinan yang mendalam ini terlalu menyakitkan bila terus dipelihara dalam hati setiap mereka yang selalu mempertanyakan realitas yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Meraka para idealis yang selalu mendambakan penghuni kepulauan Nusantara dihuni para malaikat, mereka para idealis yang selalu mendambakan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia, mereka (para Idealis) adalah  makhluk aneh yang Tuhan turunkan untuk berfungsi sebagai pelurus atas keegoisan manusia yang selalu mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya yang semakin memuakan.
Mereka idealis akan selalu berhadap-hadapan dengan realitas head to headkarena realitas tidak akan secara purna selesai berproses menjadi kerajaan akhiratnya Tuhan. Akan selalu ada yang mereka pertanyakan akan realitas yang ada, mereka tidak akan pernah terpuaskan dengan realitas yang berjalan dihadapannya, karena mereka selalu akan mempertanyakan komponen-komponen realitas yang mereka anggap tidak berjalan sesuai dengan yang seharunya. Mereka akan selalu mengkritisi hokum dan institusinya apabila hokum tidak berjalan sesuai dengan yang seharunya, begitupun dalam ranah kegiatan ekonomi, pendidikan, keagamaan dll. Karena mereka adalah makhluk surge yang merindukan kampungnya (kerajaan akhirat) yang mensejahterakan baik secara materiil maupun spiritual.
Sebuah dialektika panjang akan kita hadapi bila kita dengan seenaknya mendefinisikan Idealis, karena akan banyak mereka yang memposisikan dirinya sebagai Idealis, dan tentu saja memeprtanyakan mereka yang mendefiniskan orang Idelais, apakah dia juga Idealis?. Tapi, itu bukan hal penting menurutku. Karena ada hal lebih penting yang harus dijawab, apa yang telah mereka (para Idealis) lakukan untuk merubah realitasnya. Tentu sebuah pertanyaan yang tidak selesai hanya dijawab dengan simpul kata-kata yang akan hampa tanpa representasi realitasnya (baca: bukti).
Apakah pemenang yang menguasai realitas sekarang bukan seorang idealis?. Jawabanku, merka yang memenangkan realitas yang mengendalikan sekarang adalah seorang ‘idealis’ juga, karena mereka telah berjuang dengan gigihnya untuk mewujudakan realitas yang berjalan sesuai dengan ideagagasan yang mereka yakini, dan itu harus diapresiasi. Tetapi disinilah kita menyaksikan mereka para idealis dan ‘idealis’ pun saling bertempur untuk mewujudkan realitas yang saling mereka perjuangkan. Dan disinilah salah satu keuntungan bangsa yang banyak mendidik anak mudanya untuk menjadi idealis, akan terjadi inner dinamicskedinamisan gagasan yang akan mencoba menciptakan realitas yang terbaik dan paling baik.


ü  Frustai akan realitas atau perjuangan ‘irrasional’ makhluk duniawi.
Sondang Hutagalung adalah aktivis mahasiswa yang baru dikenal dengan tingkahnya dengan membakar diri di depan Istana merdeka. Perbuatan yang akan membuat kita orang awam akan merasa ngeri bila mengimajenasikannya, dan tentu kitapun mempertanyakan motif-motif apa saja yang dijadikan argument olehnya sehingga berani mengambil keputusan yang tidak pernah kita pikirnan. Sebuah tindakan yang di atas rasionalalisasi kita untuk melakukannya. Saya tahu saya makhluk rasional, tetapi belum tentu saya mau melakukan hal seperti itu dan mungkin tidak akan.
Hanya asumsi yang dapat saya kumpulkan bila sedikit mengikuti perkembangan berita saudara saya Sondang Hutagalung, tingkah membakar diri di anggap oleh media sebagai sebuah bentuk frustasi akan realitas yang dia hadapi dalam konteks kehidupan berkebangsaan dan berkenegaraan kita. Bagaimana tidak, dia yang selalu aktif menyuarakan penuntasan kasus munir tidak pernah mendapatkan jawabannya, dia yang selalu menggugat kemiskinan masih menyaksikan rakyat Nusantara bermiskin ria dengan di fasilitasi oleh negaranya. Tentu itu semua akan bertarung dalam pikirannya. Dan tidak elok kata frustasi kita samakan dengan mereka yang frustasi akan kehidupannya sendiri sehingga nekat bunuh diri. Tapi dia (Sondang Hutagalung) kalaupun kita sebut frustasi, dia tidak memikirkan dirinya sendiri tetapi memikirkan lingkungannya, memikirkan rakyat Indonesia, memikirkan kesejahteraannya yang kitapun yang dipikirkan olehnya belum tentu memikirkan diri kita sendiri apalagi beraksi untuk menuntuk hak kita. Luar biasa!!!!!!!!!!
Tingkah membakar diri tidaklah dapat kita terima sebagai makhluk yang rasional, lalu apakah kita menempatkan posisi Sondang sebagai seorang yang irrasional atau manusia yang tidak bepikir dengan akibat yang akan dia terima apabila dia membakar diri???. Tentu pikiran tersebut adalah perbuatan dzalim yang kita lakukan terhadap dia (Sondang). Yang mungkin catatan kecil yang saya tuliskan untuknya adalah pikiran dia ataupun dialektika dia berada di atas kita, dan hati dia berada di atas kita, dan pengorbanan dia berada di atas kita. Dia ingin menjadi sumbu bom yang akan meledak yang diharapkan dengan ledakan tersebut kita yang hidup dapat terbangun dan memperjuangkan kembali kehidupan yang kita idam-idamkan. Setidaknya kehidupan yang mensejahterakan, kehidupan yang mencerdaskan tanpa mengorbankan manusia satu hanya demi manusia yang lainnya.
Penulis: Kamal Mukhtar


[1] Pemenang adalah mereka yang dapat mendikte realitas agar sesuai dengan keinginannya.

Aplikasi Falsafah Ulil Albab HMI dalam Konsep Trias Politika


Dalam mengklasifikasi perwujudan jati diri kader HMI yang terkandung dalam jargon Ulil Albab, kita dapat mengambil tiga pelajaran penting yang kita kukuhkan sebagai falsafah Ulil Albab. Lalu kita aplikasikan dalam konsep Trias Politika.
1.    Kekuasaan Intelektualitas
a.     Kader Ulil Albab adalah kader yang terus berupaya mumpuni dalam keilmuan, mendalam ilmunya, dan kritis dalam memahami pendapat dan pemikiran orang lain. Baik dengan cara mendengarkan, menganalisa, bersikap kritis dan mengkritisi, berdiskusi.[1] 
b.    Dia tidak tabu dengan pemikiran pemikiran turats/klasik, tidak a-historis, namun tetap terbuka dengan pemikiran-pemikiran dan inovasi yang datang kemudian dengan tetap kritis menghadapi persoalan.[2] 
c.     Melakukan riset keilmuan terhadap ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah. Artinya tidak tabu dengan disiplin keilmuan yang akan diterima. Dengan begitu, ia mampu bersaing dan menumbuhkan jiwa keilmuan dalam dirinya, tidak inferior di hadapan orang lain, serta mampu menghasilkan penemuan-penemuan baru baik dalam riset dan teknologi.[3]
Tipikal kader HMI adalah orang yang senantiasa tidak merasa cukup dengan keilmuan yang ada. Prinsip belajar seumur hidup bukan hanya di lidah, tapi desakan sejarah, fakta keterbelakangan umat Islam dan keilmuan dan riset, dan tantangan masa depan yang penuh dengan dinamika intelektualis. Dengan kesadaran inilah, komitmen intelektual menjadi tidak terbantahkan. Sehingga menjadi watak/karakter kader yang ilmiah melalui kerja-kerja intelektualitas. Untuk itu, missi pertama HMI adalah “Membentuk Kader-Kader Mujtahid”. Maka bagi kita: Tiada Hari Tanpa Berdiskusi.
2.    Kekuasaan Transformasi Sosial
a.    Dengan keilmuan yang dimiliki, keyakinan, dan pengalaman, Kader Ulil Albab selalu tegak berdiri di tengah-tengah umat mengasah kepekaan sosial, memperbaiki ketimpangan sosial dengan melakukan pendampingan, pembinaan, advokasi, melakukan kerja-kerja sosial, investasi sosial, dan melakukan pengabdian sosial. Demi tegaknya keadilan di tengah-tengah umat serta persatuan ummat.[4]
b.    Teguh dengan prinsip keyakinan, berpandangan jauh ke depan, visioner, disiplin dan memiliki kemampuan manajerial.[5]
c.    Berani mengusung kebenaran sebagai prinsip amar ma’ruf nahyi munkar dan dakwah ilallah baik di tataran masyarakat, maupun di hadapan penguasa demi sebuah perubahan.[6]
Dengan demikian, kader HMI adalah kader sosial yang teguh dengan pendirian keyakinanannya, konsisten dengan kemampuan manajerialnya untuk memimpin masyarakat di manapun ia berada, melakukan pengabdian, dan melakukan pencerdasan yang massif di tengah-tengah masyarakat. Dengan kesadaran sosial inilah, komitmen sosial harus digelindingkan. sehingga dapat menjadi watak kader yang progresif berfikir maju dan berwawasan masa depan melalui kerja-kerja transformasi sosial.
Untuk itu, missi kedua HMI adalah “Membentuk Kader-Kadernya Sebagai Agen Mujaddid dan Mujahid”. Maka bagi kita; “Tiada Hari Tanpa Berorganisasi”.
3.    Kekuasaan Perubahan Politik
Di samping itu, di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, kader HMI harus peka menyoal persoalan kebangsaan. Gelisah dengan moralitas bangsa yang bobrok, kritis terhadap kebijakan negara yang cenderung memarjinalkan dan merugikan ummat, dan melakukan kerja-kerja politik etik di hadapan penguasa. Dengan meningkatnya kesadaran politik inilah, harus ada jiwa-jiwa revolusioner demi tegaknya kehidupan bernegara yang adil, makmur, dan terhndar jauh dari imperialisme-imperialisme baru. Perubahan iklim politik harus lebih mensejahterakan dan tidak memasung hak-hak warga.
Untuk itu, missi ketiga HMI adalah “Melakukan Amar dan Ma’ruf Nahyi Munkar”. Maka bagi kita: Hidup hanya sebagai Mu’abbid”.
Penulis: Moch. Kharismullah Hilmatian


[1] QS. Ali-Imran: 7, QS. Az-Zumar: 18.
[2] QS. Yusuf: 111.
[3] QS. Shad: 29; QS. Gafir: 54, QS. Ali-Imran: 190-191.
[4] QS. Ar-Ra’d: 19-22.
[5] QS. Al-Baqarah: 197 dan QS. Az-Zumar: 9.
[6] QS. Ibrahim: 52, QS. Ar-Ra’d: 21, QS. Al-Maidah: 100. 

Evolusi Syariah; Upaya Menggagas Islam Progressif ala Mahmud Mohamed Taha



Sejak periode awal sejarah perkembangan islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh Hukum Islam. Aturan-aturan ini pada esensinya adalah religius dan terjalin inherent secara religius pula. Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangan hukum islam selaludiupayakan berdasarkan Al Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang terakhir diturunkan kepada manusia, yang aplikasinya sebagian besar telah diterangkan operasionalnya oleh sunnah Rasulullah.
Al Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Seiring dengan berkembangnya Islam keberbagai penjuru, maka muncul pula persoalan-persoalan baru yang berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapai kaum muslimin dimasa Rasulullah. Sedangkan Al Qur’an hanya memuat sebagian kecil hukum-hukum terinci, sementara sunnah terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasulullah, maka untuk memecahkan masalah-masalah baru, diperlukan adanya ijtihad. Hal ini disadari betul oleh Mahmud Mohamed Taha, salah seorang intelektual progressif asal Sudan. Taha sendiri harus menjalani hukuman mati di tiang gantungan yang dipimpin langsung oleh Presiden Numeri. Selang 76 hari pasca eksekusi mati tersebut, 6 April 1985, Presiden Numeri jatuh karena gelombang demontrasi menentang tragedi intelektual yang memilukan.
Hukuman mati yang diberikan terhadap Taha adalah karena konsep Evolusi Syariah yang dikembangkan oleh Taha dianggap terlalu liberal dan mengancam rezim Numeri. Menurut Taha syariah harus mengalami evolusi (tathawwur) terus-menerus seiring kemajuan tingkat kemampuan manusia dalam pentas sejarah. Dalam gagasannya tentang evolusi syariah, dia mengenalkan gagasan Risalah Kedua. Risalah Kedua yang dimaksud oleh Taha adalah bahwasanya konsep penyampaian wahyu (risalah) belumlah selesai. Rasulullah SAW memang telah meninggal, namun beliau belum merinci secara detail tetntang ayat-ayat yang turun di mekkah.  Ayat-ayat mekkah ini menurut Taha adalah ayat-ayat dasar yang merupakan ajaran murni dan fundamental. Ayat-ayat yang turun di mekkah ini kemudian menghapus (naskh)  ayat-ayat yang turun di Madinah. Dalam hal ini naskh bukan berarti penghapusan yang final dan konklusif, namun ia hanya merupakan penangguhan pemberlakuan sampai dating waktu yang sesuai, ketika waktunya tiba, maka ayat-ayat yang ditangguhkan tersebut diberlakukan dan diterapkan.
Ayat Makkiyah itulah yang dikatakan sebagai Risalah Islam Kedua (al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam), sedangkan ayat Madaniyah dinamakan al-Risalah al-Ula fi al-Islam (Risalah Islam Pertama). Bagi Taha, Risalah Islam Pertama (madaniyah) yang bersifat cabang dan lokal tidak bisa digunakan untuk mengeneralisir berbagai persoalan yang kemudian timbul di zaman kemudian. Untuk itu, sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk kembali pada ayat makiyah yang mendedahkan masalah fundamental dan universal, sehingga bisa digunakan sebagai landasan dalam membangun paradigma syariah/hukum Islam kontemporer.
Gagasan yang diusung Taha merupakan bentuk komitmennya dalam memegang teguh ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan zaman modern sekarang. Ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat dasar yang mempunyai standar lebih tinggi dari pada ayat-ayat cabang dan muatannya sejalan dengan konstitusionalisme, hak asasi manusia universal, dan perdamaian universal. Syariah modern harus didasarkan paa ayat-ayat dasar ini, sementara syariah historis harus ditangguhkan dulu. Yang dilakukan Taha ini bukanlah menolak atau membuang ajaran Islam, namun justru kembali kepaa semangat aslinya 
Penulis: M. Muhtar Nasir 

Kamis, 17 November 2011

Latihan Kader 1 (LK)

Catatatan  (Latihan Kader) 1LK  hmi komfak syariah dan hukum
Oleh : panitia (Qhutub)  dan peserta (hilma)

* catatanpanitia
Latihan Kader I (selanjutnya LK I) yang telah diselenggarakan oleh HMI Kom-Fak Syari’ah & Hukum pada 20-23 Oktober 2011 di ponggok, bantul Alhamdulillah berjalan dengan lancer sesuai dengan scenario yang semestinya. Hal ini tentu dapat menambah suasana kehangatan yang baru bagi para pengurus dan kader HMI Kom-Fak Syariah & Hukum karena bertambahnya kader baru yang sebanyak 14 orang dengan ‘komposisi’ 1 perempuan dan sisanya laki-laki. Yang diharapkan dikemudian hari dapat meneruskan perjuangan dan perkaderan di HMI.